Jangan Didik Anakmu!

Pagi…
Jakarta…
Netbook….
Saya dan secangkir cappuccino…
Rindu keluarga…
Posting lagi…
Saya adalah orang yang sering berganti cita-cita dan cenderung latah. Saya pernah ingin menjadi seorang pembalap Formula 1, pebulutangkis, arsitek, ahli sains dan matematika, penulis, wirausaha, guru, ustadz, musikus, dan orang kaya (halah!).
Akhirnya, suatu waktu, saya sempat memilih untuk fokus pada satu bidang, yaitu di bidang pendidikan.
***
Kenapa saya sempat memilih untuk terjun di dunia pendidikan?!?! Itu tidak lain karena saya tertarik pada sebuah kesuksesan hidup. Ternyata, kesuksesan hidup sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Bukan pendidikan formal dan mengikuti jenjang sekolahan, tapi lebih kepada pendidikan sebagai proses pembelajaran manusia untuk memilih jalan hidup, mengembangkan diri, mengendalikan diri, dan menjadi orang yang berhasil. Saya ingin punya sebuah sekolah dan menjadi seorang pendidik dengan metode pendidikan yang berbeda dari sekolah konvensional. Kurikulum yang saya masukkan kurang lebih tentang konsep diri, harga diri, kreatifitas, kerjasama, dan sejenisnya.
Sebenarnya, ada tujuan lain dari pilihan saya menekuni dunia pendidikan, yaitu mendidik anak-anak saya sendiri nantinya. Itu semua karena pandangan saya yang mulai ragu terhadap pendidikan konvensional beberapa tahun terakhir. Bahkan, anak tetangga saya yang masih TK sampai stres karena sekolah (gejalanya : setiap mendengar kata “PR”, entah dari orang tuanya, saudara, film, bahkan orang lewat lalu iseng bilang “PR”, dia menangis histeris dengan ketakutan yang hebat). Itu adalah efek pendidikan yang semakin mengerikan, Kawan…
Karena itulah saya ingin menekuni dunia pendidikan sebagai karier saya.
***
Beberapa bulan yang lalu, saya memutuskan resign dari tempat kerja saya untuk mencari pekerjaan yang lebih cocok dengan cita-cita saya.
Saya berbincang dengan ibu saya dan mengutarakan keinginan itu: menekuni dunia pendidikan. Karena itu, mungkin saya akan melanjutkan sekolah dan membuka lembaga pendidikan kecil-kecilan.
Di tengah saya bercerita bahwa saya juga ingin mendidik anak-anak saya sendiri nantinya, Ibu saya memotong pembicaraan dan berucap, “Jangan!”
Lalu saya bertanya, “Kenapa?”
“Lihatlah cerita masa lalu, Le… Orang yang sukses adalah orang yang dididik oleh alam. Kau tahu, dua presiden kita yang memasang pondasi karakter dan pembangunan negeri ini, yaitu Soekarno dan Soeharto, adalah anak perantauan. Di cerita pewayangan, raja Kerajaan Hastina, yaitu Prabu Pandu, tidak mendidik sendiri anak-anaknya, Pandawa, meskipun mereka adalah pemangku tahta berikutnya. Kau lihat Nabi Yusuf AS. Dia dibuang oleh kakak-kakaknya, terpisah dari keluarganya selama puluhan tahun. Lalu beliau malah berhasil dan bisa menjadi seorang perdana menteri. Dan kau tahu, orang nomor satu di agama kita, yaitu Nabi Muhammad SAW, adalah seorang perantauan sejati. Beliau tidak pernah bertemu dengan ayahnya… Ibunya, Siti Aminah, telah meninggal sewaktu Nabi Muhammad masih kecil. Belajarlah pada fenomena itu… Biarkan anakmu nanti memilih jalan sendiri. Mereka mungkin akan melangkah dengan tertatih, berhadapan dengan realita, dan dewasa karena pengalaman. Tugasmu hanyalah mendoakan dan mendukung… Titipkan anakmu kepada Sang Maha Pengasih.”, jelas Ibu saya.
Kawan, ayah dan ibuku juga seorang perantau. Ayahku merantau selepas SMA. Ibuku lebih ekstrim lagi, dia merantau sejak lulus SMP. Dan nasehat Ibu saya saat itu membuat pikiran saya terbuka lebar…
Akhirnya, tujuan saya pun beralih… Mungkin, menjadi seorang praktisi pendidikan hanyalah pelarian dari fenomena yang semakin rumit di mata saya.
Saya pun memikirkan kembali apa profesi yang paling cocok dengan Passion saya?! Tidak susah sebenarnya… Saya tinggal membuka lemari buku, dan mencari tema buku apa yang paling banyak disitu. Jawabannya, adalah bidang manajemen… Ya… Manajemen! Sebuah bidang yang sempat membuat orang tua saya kecewa, karena manajemen adalah ilmu sosial, bukan eksakta seperti yang diminati oleh orang tua saya. Tapi, pada akhirnya mereka maklum… Dan mendukung apapun jalan yang saya pilih…
***
Tiga bulan pun berlalu… Saat ini, saya direkrut oleh sebuah bank pelat merah untuk berada di posisi manajerial. Posisi yang sesuai dengan passion saya…
Ada perasaan haru ketika saya mengingat perjalanan yang saya lalui… Semuanya seperti tertata rapi oleh alam…. Inilah jalan saya… Jalan yang bisa saya lalui karena kebebasan yang diberikan oleh orang tua saya…
Tanpa disadari, orang tua saya telah mempraktikkan puisi Kahlil Gibran yang fenomenal itu.
Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.

Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.

Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.

Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.

Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.

Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.

Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ODP

Wawancara Kerja... .

Wajib Militer