Pelajaran Tiga Ribu Perak

Salah satu kategori buku yang laris manis di pasaran saat ini adalah tentang motivasi dan pengembangan diri untuk meraih kesuksesan. Kita bisa melihat ada banyak buku dengan judul semacam ini :
“Sekian langkah untuk meraih sukses”,
“Sukses dalam hitungan hari”,
“Satu rahasia meraih mimpi”,
dan lain sejenisnya… .
Buku-buku itu biasanya berisi kisah yang sangat menginspirasi. Ada cerita tentang orang yang berhasil mempunyai segudang uang di usia yang relatif muda…
Ada kisah tentang manusia yang berhasil menjadi pimpinan di perusahaan berkat menjalankan sebuah rahasia kesuksesan…
Ada pengalaman orang yang bisa meraih penghasilan pasif yang bisa diwariskan ke anak cucu mereka… Ada juga cerita salesman yang mendapatkan closing spektakuler. Semua kisahnya pasti inspiratif (klo ga’ inspiratif pasti ga’ dicetak sama penerbit.. Hehehe!)
Saya termasuk orang yang menggemari buku-buku semacam itu, tepatnya sejak delapan tahun yang lalu ketika masih duduk di bangku SMU… .
Kalau boleh jujur, saya ingin menjadi seperti mereka-mereka yang dikisahkan dalam buku itu…. . Mempunyai rumah dan mobil impian, memiliki penghasilan pasif sehingga mempunyai banyak waktu untuk keluarga, juga bisa berkeliling dunia tanpa memikirkan biaya perjalanannya… .
Tapi entah kenapa, setelah delapan tahun, keinginan saya itu tak kunjung terwujud, sampai sekarang… . Hemh! (~_~”)
Dan hari ini saya adalah seorang pegawai yang berkutat dengan rutinitas pekerjaan ‘hanya’ untuk bertahan hidup.
Namun, pelajaran satu bulan yang lalu seolah membuka paradigma saya tentang kesuksesan hidup, bahwa hidup tidak melulu tentang apa yang kita peroleh, namun apa yang bisa kita bagi dengan orang lain.
***
Malam itu, awal Bulan Oktober 2011, saya melakukan perjalanan dari Surabaya ke Malang bersama teman saya… .
Itu hanyalah perjalanan yang biasa, naik kendaraan roda empat pribadi. Saat itu giliran dia mengemudi… Sedangkan saya sibuk ‘bermain’ smartphone android baru miliknya (mumpung bisa pinjem) =p
Kami melewati jalan tol rute Surabaya-Porong yang tarif-nya sebesar 3.000 perak untuk kendaraan golongan 1A… Ketika melewati pintu exit yang notabene saatnya untuk “bayar tol”, dia melihat spion, lalu menyiapkan uang 6.000 perak… .
Waktu membayar, dia berucap kepada petugas tol, “Dua, Pak… Sama mobil belakang…”.
“Ooohh.… Sama mobil belakang itu ya?! Oke!”, jawab petugas tol…
Saya keheranan dan bertanya, “Siapa yang ada di mobil belakang itu???”
“Tidak tahu.”, jawabnya sambil tersenyum.
“Kok dibayarin?”, tanya saya lebih lanjut.
“Kejutan!”.
***
Saya tersenyum. Menoleh ke mobil di belakang kami. Membayangkan betapa kagetnya orang itu, yang tiba-tiba mendapat ongkos tol gratis sebesar tiga ribu perak. Kami tak tahu siapa orangnya, apakah orang jahat atau orang baik, dari etnis Jawa, Batak, Tiong Hoa, atau lainnya… Semua itu ga’ penting… .
Kejadian ini aneh, lucu, sekaligus menyenangkan!
Teman saya senang bisa memberi kejutan, si petugas tol senang tugasnya lebih lancar, si pengemudi mobil belakang kami heran mendapat sebuah kejutan yg menyenangkan, dan saya (sebagai penonton) terciprat aura kebahagiaan itu… .
Malam itu, saya pun berpikir… Mungkin benar kata Pak Cik Harfan di film Laskar Pelangi, “Hiduplah untuk Memberi sebanyak-banyaknya, bukan Menerima sebanyak-banyaknya.”
Saya merasa bodoh karena sekian tahun bergelut dengan berbagai macam teori dan dogma untuk menerima sebanyak-banyaknya dari buku-buku bertema motivasi dan kekayaan… Memang ada juga pelajaran untuk memberi, tapi tetep ujung-ujungnya berharap untuk menerima… Alias pamrih… . (ini bukan salah penulisnya, tapi penafsiranku yang terlalu dangkal. Hehehe!)
Peristiwa yang sederhana, namun memberi makna yang mendalam bagi saya. Pelajaran tiga ribu perak dari teman saya membuat hidup saya lebih kaya. Saya jadi merasa bangga dengan apapun profesi saya selama masih ada yang bisa saya bagi dengan orang lain di kehidupan ini.
Kini, saya bisa sedikit mengerti jalan pikiran orang yang rela mengabdikan diri untuk ‘memberi’ semacam Ibu Theresa sang pelindung bagi kaum kusta, Mahathma Gandhi dengan ajaran ahimsa-nya, John Wood sang penulis “Room to Read”, Butet Manurung sang perintis “Sekolah Rimba”, dan lain-lain yang saya belum tahu… .
“Dalam Memberi ada Sukacita, dan Sukacita itulah Balasan Yang Paling Indah.”
-Kahlil Gibran-

Komentar
Posting Komentar